PLUNG
Allah berikan pengetahuan
Dari langit dan dari bumi
Agar kita bertakwa
Dan Ia ciptakan hamparan
Bintang-bintang menghiasi malam
Segalanya tlah diciptakan
Agar kita bersyukur pada-Nya
[Na’am-Sang Pencipta]
10.00 kelas XII-3 SMA Harapan.
“Les, loe lulus gak?” ucap Rangga memegang pundakku.
“Sabar, sabar.. belom juga dibuka”
“NEM gua 54,00 les.. hoki banget. Gua kira gua ga
bakal lulus, hehe”
“Yah, berdo’a aja deh” senyumku ragu.
Oles. Penting ga penting, itulah namaku. Titik, tanpa
koma. Dan Sejak pagi tadi, perasaanku buruk, entah kenapa. Yah, mungkin
gara-gara hari ini adalah hari keputusan apakah kami lulus UN atau tidak. Dan
kali ini, Surat Keputusan Hasil Ujian Nasional berada di tanganku dengan jelas.
Hanya butuh waktu untuk membuka surat ini.
MAAF, ANDA TIDAK LULUS…
---OoO---
16.00 Stasiun Serpong.
Aku duduk di kursi stasiun, memandangi lalu-lalang
orang-orang di sekitarku. Tertawa, gembira, cemberut, menangis. Huh, inilah
hidup. Kualihkan pandanganku menuju kertas yang kugenggam. Kubaca sekali lagi lembaran
SKHUN yang kuterima tadi pagi. MAAF, ANDA TIDAK LULUS. Berapa kalipun kucoba
membacanya, tetap tak ada yang berubah. Kulipat-lipat kertas itu dan kubuang ke
tempat sampah di sampingku.
PLUNG!
Tak berguna.
Inikah takdir Tuhan yang telah ia sematkan kepadaku?
Saat ini, bagiku Tuhan itu tidak adil dan tidak berguna. Ya, seperti
kehidupanku sekarang. Apa yang diharapkan dari seseorang yang tidak lulus UN?
Tidak ada? Ya, tidak ada! Dan bagiku, itulah jawaban satu-satunya. “Untuk apa
terus hidup jika hidup ini memang sudah tidak berguna lagi?”
Dan dengan itu, kupikir sudah tak ada gunanya lagi
aku hidup di dunia ini. Sudah saatnya aku pergi untuk selamanya. Ya, selamanya.
Tapi, bagaimana caranya? Bukankah kematian yang
paling aku takutkan?
Terdenger sayup-sayup pengumuman dari speaker
stasiun. Sang ular besi akan datang 5 menit lagi.
“Kenapa tidak kau tabrakkan dirimu saja ke kereta?
Dengan begitu, segala urusan akan selesai dengan cepat” Hati hitamku berbicara.
“Hm… benar juga. Ini kesempatan.” Balas hatiku.
“Semudah itukah kau mengartikan kehidupan? Bukankah
kehidupan ini masih panjang? Bagaimana dengan ayah dan ibumu yang masih terus
menunggu kepulanganmu di rumah?” berontak hati putihku.
Bibirku tersenyum lebar. “Ini keputusanku. Aku memang
sudah tak pantas hidup di dunia ini. Aku tak pantas menjadi anak mereka lagi.
Untuk apa aku hidup kalau hidupku hanya bisa menyakiti hati mereka terus?”
Suara kereta itu semakin jelas terdengar. Aku bangkit
dari dudukku, mempersiapkan diri. Kulangkahkan kakiku agar bisa lebih dekat
dengan rel kereta.
Saat aku sudah mempersiapkan diri, tiba-tiba ada
sesuatu yang menarik lenganku. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Seorang anak
kecil dengan muka kotor penuh lumpur dan debu mencengkram lenganku. Dengan
memelas, ia mengulurkan tangannya, berharap sedikit pemberian dariku.
Aku terdiam seribu bahasa. Sebuah keringat dingin
mengucur dari dahiku. Beberapa detik lagi, kereta itu akan melintas, dan aku
harus cepat. Tapi, jika terus memaksakan diri, aku juga akan melibatkannya. Aku
tak bisa terus diam seperti ini.
“Kak, minta uang…” rintihnya penuh harap. Suara itu
begitu mengetuk pintu hatiku. Dengan sigap, kuambil sebuah dompet dari saku
bajuku. Kuberikan selembar uang Rp 5.000 kepadanya.
Tanpa ekspresi, ia menerima uang itu. Mukanya tetap
memelas, seperti seorang bocah yang trauma akan peperangan. Tanpa melepaskan
lengannya dari bajuku, Ia menggenggam uang pemberianku dan kembali menatapku.
“Kak, minta uang…” rintihnya kembali. Suaranya parau,
seperti seseorang yang sangat menderita.
Kuambil kembali dompet dari saku bajuku. Kuserahkan
semua uang yang tersisa dari dompetku, selembar uang Rp 10.000 padanya.
Mulutnya terbuka lebar, matanya menyipit. Ia tertawa tulus. “Hehe, telima kacih
kak!” ucapnya.
Aku tersenyum kepadanya. Senang hatiku melihat orang
lain senang. Dan tanpa kusadari, kereta yang kutunggu dengan cepat melewatiku,
jauh, dan semakin jauh.
“Oh, sial!” ucapku kesal.
Anak kecil tadi melepaskan cengkramannya dari
lenganku. Aku menoleh padanya. Mukanya yang lusuh tak terurus meluluhkan
hatiku. Seketika itu juga, keinginanku untuk meninggalkan dunia ini hilang.
“Di mana rumahmu, dik?” tanyaku.
“Di cinih, kak, di cinih!” jawabnya polos.
“Di sini? Di mana?” heranku sambil melihat
sekeliling. Sejauh mata memandang, tak ada rumah yang terlihat.
“Di cini nih, di cinih!” teriaknya polos, sambil
menunjuk-nunjuk sebuah selokan beratapkan kardus.
Aku berjalan menuju selokan itu. Semakin mendekat,
semakin terlihat jelas sebuah sosok yang sedang berbaring di situ. Setengah tak
percaya, kulihat sosok itu dengan jelas. Kurus kering, hampir tak berdaging.
Orang yang hanya melihatnya sekilas mungkin akan mengira bahwa ia hanyalah
bangkai yang sudah mati.
Ketika aku dan anak itu menghampiri kardus itu,
tiba-tiba sosok itu bergerak. Matanya yang teduh terbuka, menatap kami berdua
secara bergantian. “Siapa yang kau bawa ini, nak?” tanyanya lembut.
“Ini malaikat
yang baik, yah..” ujarnya.
Sosok tersebut tersenyum kepadaku. Mulutnya sedikit
terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. “Kemarilah anak muda..” ucapnya
sulit, terlihat menahan rasa sakit.
Aku menghampirinya, dan berjongkok di hadapannya.
“Kupikir, kau sedang dirundung masalah besar.”
Goal! Tepat mengenai sasaran, bagaikan bola yang
melesak ke gawang. “Bagaimana mungkin bapak bisa tahu?” ucapku masih setengah
tak percaya.
Sambil tersenyum, ia membuka mulutnya, “Allah yang
memberitahuku, nak.”
Allah? Kupikir, aku telah menghapus kata-kata itu
dari kehidupanku beberapa jam yang lalu.
“Allah?” tanyaku padanya. “Kenapa bapak masih
mempercayai Allah?”
Ia kembali tersenyum. Pandangannya menatap langit,
penuh harap dan kebanggaan. “Karena Allah telah memberikan berbagai kenikmatan
yang tak ternilai harganya, sampai kapan pun.” Ujarnya. “Itulah, kenapa sampai
saat ini Allah layak disebut sebagai Tuhan. Ia yang menciptakan kita,
memberikan kenikmatan pada kita, dan tak pernah mendzalimi hamba-Nya..”
Aku menatap tubuhnya dalam-dalam. Kurus kering,
seperti tanpa daging. Rambutnya kumal. Pakaiannya lusuh. Dengan penampilannya
yang seperti itu, wajar banyak orang yang tak menganggapnya ada di dunia ini. Bagaikan
sesosok bangkai dalam selokan. “Bukankah Allah telah memberikan bapak kondisi
seperti ini? Tidakkah Allah telah berbuat tidak adil kepada bapak? Dan dengan
ini, bapak masih tetap bersyukur kepada Allah?” Tanyaku penuh keheranan. Tak
masuk akal!
Bapak itu tersenyum, menatap mataku dalam-dalam. “Nak,
bukankah dunia ini adalah ladang cobaan bagi orang Muslim? Bukankah
cobaan-cobaan yang Allah berikan itu akan mengurangi dosa dan meningkatkan
keimanan kita? Bukankah cobaan-cobaan yang Allah berikan merupakan peringatan
bagi kita? Bukankah dunia ini hanya sementara? Bukankah Allah selalu bersama
dengan orang-orang yang sabar? Bukankah Allah akan memberikan rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangka dan akan memberikan Surga-Nya bagi siapa saja
hamba-Nya yang selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak mengeluh terhadap segala
ketentuan-Nya?” ucapnya menerawang.
Mulutku membisu sejenak. Pandanganku ragu, hatiku
bergetar. Sungguh berat ucapan bapak ini. Tapi, aku masih penasaran dengan
segala pengalaman hidup beliau. “Pak, kalau boleh tahu, sebenarnya peristiwa
apa yang menyebabkan kondisi bapak hingga seperti ini?”
Bapak itu kembali tersenyum. “Yah, itu masa lalu.
Dahulu bapak adalah ahli maksiat, nak. Hingga sampai pada suatu hari,
kemaksiatan bapak telah mencapai puncaknya. Hampir saja Allah mencabut nyawa
bapak. Andaikata Allah tak mengasihani bapak ketika itu, bapak mungkin sudah
tiada di dunia ini. Dan Bapak masih bersyukur terhadap ketentuan Allah, karena
penyakit HIV ini masih lebih baik daripada kematian. Semoga dengan penyakit
ini, dosa-dosa bapak dapat terampuni…”
Suaranya semakin berat. Ketika kutatap wajahnya,
bulir-bulir air mata mulai menetes dari pipinya, tanda penyesalan.
“Tapi pak, apa bapak tidak pernah protes terhadap
ketentuan Allah ini? Bukankah masih ada kehidupan yang lebih baik?”
“Dik, dengan
ketetapan Allah ini, bapak berharap, inilah yang terbaik untuk dunia dan
akhirat bapak, dan bapak yakin Allah juga telah menakdirkan hal yang seperti
itu. Jadi, kenapa bapak harus mengeluh dan tidak mensyukuri nikmat-Nya?
Bukankah masih terlalu banyak nikmat yang Allah berikan yang wajib kita
syukuri?”
DEG! Ucapan bapak ini benar-benar tepat, benar-benar
mengena!
“Nak, ketika kau mendapat kenikmatan, pernahkah kau
bertanya, kenapa harus saya yang mendapatkan kenikmatan ini? kenapa bukan orang
lain? Dan ketika mendapat sebuah musibah kecil, kenapa harus saya yang
mendapatkan musibah ini? kenapa bukan orang lain? Pernahkah?”
Seolah bisa membaca fikiranku, bapak itu langsung
melanjutkan, “Bapak fikir, hampir semua orang akan melakukan hal yang sama.
Bapak juga dulu seperti itu. Namun, bapak akhirnya sadar, bahwa kehidupan ini
adalah nikmat dan cobaan. Ketika kita sedang terlena dengan kenikmatan Allah,
Allah akan mengingatkan kita melalui cobaan agar kita kembali pada-Nya. Dan itu
tanda cinta Allah pada kita.”
Sebutir keringat luluh dari dahiku. Menetes jatuh ke
tanah. “Tapi pak, penyakit HIV ini kan tak ada obatnya. Bapak tak punya harapan
hidup lagi. Kenapa bapak masih terus bersabar atas penyakit ini? kenapa bapak
tidak bunuh diri saja?”
Beliau kembali tersenyum. Tatapannya menerawang ke
langit, penuh harapan. “Seperti yang bapak katakan, segala bentuk cobaan adalah
peringatan bagi kita. Siapa tahu, kita punya dosa besar, dan dengan cobaan ini,
Allah ingin kita sadar dan bertaubat pada-Nya. Bukankah dengan cobaan, kebaikan
Allah semakin terasa? Bukankah dengan cobaan ini, Allah akan menghapus
dosa-dosa kita?”
Kerongkonganku terasa mulai mengering. Kumenerawang
kembali ke masa beberapa jam yang lalu, ketika kubaca lembaran SKHUN itu. Ah,
apapun itu, kupikir semuanya sudah percuma. Ada harapan apalagi bagiku untuk
hidup?
Bagaikan mengangkat sebuah gunung, kucoba membuka
mulutku, “Percuma pak, semuanya sudah terlambat. Kejadian itu telah
menghancurkan masa depanku…”
Bapak itu menarik nafas panjang, bentuk penyanggahan langsung terhadap
pernyataan bodohku itu. “Semua yang terjadi di dunia ini tak ada yang percuma.
Seminimalnya, engkau akan mendapatkan pengalaman untuk hidupmu ke depan. Kata
siapa satu musibah akan menghancurkan masa depanmu yang luasnya seluas langit
dan bumi? Justru jika kau berdiam diri saja tanpa belajar dari pengalaman, atau
membuat onar di sana sini sebagai bentuk pelampiasanmu, maka itulah yang akan
merusak masa depanmu. Dengan segala kejadian yang ada, kau harus belajar!
Bukankah Allah tidak menilai hasil, melainkan proses?”
JLEB! Mulutku diam seribu bahasa. Skakmat!!
“Apalagi, kita sebagai manusia tidak punya hak untuk
mendahului takdir Allah, mendahului kematian kita dengan bunuh diri.
Perjalananmu masih panjang nak, apalagi kau punya masa depan sebagai seorang
pemuda. Sedangkan bapak? Bapak sudah tidak punya harapan hidup. Jadi, alangkah
baiknya kalau bapak menikmati masa-masa akhir hidup bapak dengan banyak-banyak
bersyukur pada-Nya”
Tanpa sadar, linangan air mata telah membasahi
wajahku. Butir-butir penyesalan bermunculan di fikiranku. Ya Allah, kenapa
selama ini fikiranku teramat dangkal? Kenapa hamba tak sadar betapa cintanya
Engkau padaku? Ya Allah, maafkanlah hambamu yang hina ini…
Kuangkat kepalaku dan kutarik nafas panjang,
tersenyum. Kutatap bapak itu penuh harap. Kusentuh pundaknya dan kuusap air
mata yang berada di wajahnya. Entah kenapa, mulutku menjadi ringan untuk
digerakkan, “Terima kasih pak, bapak telah menyadarkan saya. Saya berjanji,
saya akan berubah dan akan menyadarkan orang-orang yang bernasib sama seperti
saya.”
Kucium kening bapak itu. Kurasakan dekapan erat dari
tangannya, lembut, menyejukkan. Aku bangkit berdiri, kuusap kepala anak bapak
ini. Ia tersenyum kegirangan. “Dik, pak, sekali lagi, terima kasih banyak.”
Ucapku seraya berdiri. “Assalaamu’alaikum.”
Sempat kulirik sejenak wajah bapak tadi. Sebuah
senyum mengembang di wajahnya. Sebuah senyum kebanggaan.
Dan dalam hati, aku berjanji, akan bersabar dan
mensyukuri segala pemberian Allah, apa pun itu. Semoga saja, itu merupakan hal
yang terbaik bagiku.
Dengan jiwa yang tenang, kulangkahkan kakiku menuju
rumah.
---OoO---
16.00 Stasiun Serpong, keesokan harinya.
Aku duduk di sebuah bangku stasiun. Sebuah majalah
kubaca untuk mengisi waktu sebelum kereta datang. Kemiskinan, kelaparan,
demonstrasi. Huh,itulah carut marut Indonesia yang tak kunjung usai. Sejenak,
aku berfikir, andaikata masyarakat Indonesia tidak banyak bermaksiat dan
senantiasa bersyukur pada-Nya, pasti Indonesia akan makmur dan sejahtera.
Karena, itulah janji Allah…
TENG TENG TENG TENG
Alarm stasiun berbunyi empat kali, disusul sebuah
suara tanda kereta akan segera datang. Si ular besi telah Nampak dari kejauhan.
Aku bangkit dan bersiap. Seorang siswa SMA dengan seragam putih abunya yang
semenjak tadi duduk di sampingku juga ikut berdiri. Nafasnya memburu, matanya
sayu. Tanpa diduga, ia melompat menuju rel dan mematung di tempat kereta akan
datang beberapa detik lagi!
Mata-mata yang melihat peristiwa itu terbelalak.
Membisu. Seolah telah menyiapkan diri sebagai saksi dari sebuah peristiwa bunuh
diri.
“Bodoh!” Teriakku. “Jangan berdiri di situ!”
Aku melompat, berusaha untuk mendorong dan
menyelamatkannya.
BRAKKKH!!!
---OoO---
“Kenapa!? Kenapa kau harus menolongku! Kenapa??? Aku
ingin mati! Aku ingin matiii!!!”
Suara teriakan itu tak terdengar lagi. Gelap, hampa. [Al_Fatih1453]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar