Sabtu, 19 Mei 2012

PLUNG


PLUNG

Kepada setiap umat manusia
Allah berikan pengetahuan
Dari langit dan dari bumi
Agar kita bertakwa

Dan Ia ciptakan hamparan
Bintang-bintang menghiasi malam
Segalanya tlah diciptakan
Agar kita bersyukur pada-Nya
[Na’am-Sang Pencipta]


10.00 kelas XII-3 SMA Harapan.

“Les, loe lulus gak?” ucap Rangga memegang pundakku.
“Sabar, sabar.. belom juga dibuka”
“NEM gua 54,00 les.. hoki banget. Gua kira gua ga bakal lulus, hehe”
“Yah, berdo’a aja deh” senyumku ragu.

Oles. Penting ga penting, itulah namaku. Titik, tanpa koma. Dan Sejak pagi tadi, perasaanku buruk, entah kenapa. Yah, mungkin gara-gara hari ini adalah hari keputusan apakah kami lulus UN atau tidak. Dan kali ini, Surat Keputusan Hasil Ujian Nasional berada di tanganku dengan jelas. Hanya butuh waktu untuk membuka surat ini.

MAAF, ANDA TIDAK LULUS…

---OoO---

16.00 Stasiun Serpong.

Aku duduk di kursi stasiun, memandangi lalu-lalang orang-orang di sekitarku. Tertawa, gembira, cemberut, menangis. Huh, inilah hidup. Kualihkan pandanganku menuju kertas yang kugenggam. Kubaca sekali lagi lembaran SKHUN yang kuterima tadi pagi. MAAF, ANDA TIDAK LULUS. Berapa kalipun kucoba membacanya, tetap tak ada yang berubah. Kulipat-lipat kertas itu dan kubuang ke tempat sampah di sampingku.

PLUNG!

Tak berguna.

Inikah takdir Tuhan yang telah ia sematkan kepadaku? Saat ini, bagiku Tuhan itu tidak adil dan tidak berguna. Ya, seperti kehidupanku sekarang. Apa yang diharapkan dari seseorang yang tidak lulus UN? Tidak ada? Ya, tidak ada! Dan bagiku, itulah jawaban satu-satunya. “Untuk apa terus hidup jika hidup ini memang sudah tidak berguna lagi?”

Dan dengan itu, kupikir sudah tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini. Sudah saatnya aku pergi untuk selamanya. Ya, selamanya.

Tapi, bagaimana caranya? Bukankah kematian yang paling aku takutkan?

Terdenger sayup-sayup pengumuman dari speaker stasiun. Sang ular besi akan datang 5 menit lagi.

“Kenapa tidak kau tabrakkan dirimu saja ke kereta? Dengan begitu, segala urusan akan selesai dengan cepat” Hati hitamku berbicara.

“Hm… benar juga. Ini kesempatan.” Balas hatiku.

“Semudah itukah kau mengartikan kehidupan? Bukankah kehidupan ini masih panjang? Bagaimana dengan ayah dan ibumu yang masih terus menunggu kepulanganmu di rumah?” berontak hati putihku.

Bibirku tersenyum lebar. “Ini keputusanku. Aku memang sudah tak pantas hidup di dunia ini. Aku tak pantas menjadi anak mereka lagi. Untuk apa aku hidup kalau hidupku hanya bisa menyakiti hati mereka terus?”

Suara kereta itu semakin jelas terdengar. Aku bangkit dari dudukku, mempersiapkan diri. Kulangkahkan kakiku agar bisa lebih dekat dengan rel kereta.

Saat aku sudah mempersiapkan diri, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik lenganku. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Seorang anak kecil dengan muka kotor penuh lumpur dan debu mencengkram lenganku. Dengan memelas, ia mengulurkan tangannya, berharap sedikit pemberian dariku.

Aku terdiam seribu bahasa. Sebuah keringat dingin mengucur dari dahiku. Beberapa detik lagi, kereta itu akan melintas, dan aku harus cepat. Tapi, jika terus memaksakan diri, aku juga akan melibatkannya. Aku tak bisa terus diam seperti ini.

“Kak, minta uang…” rintihnya penuh harap. Suara itu begitu mengetuk pintu hatiku. Dengan sigap, kuambil sebuah dompet dari saku bajuku. Kuberikan selembar uang Rp 5.000 kepadanya.

Tanpa ekspresi, ia menerima uang itu. Mukanya tetap memelas, seperti seorang bocah yang trauma akan peperangan. Tanpa melepaskan lengannya dari bajuku, Ia menggenggam uang pemberianku dan kembali menatapku.

“Kak, minta uang…” rintihnya kembali. Suaranya parau, seperti seseorang yang sangat menderita.

Kuambil kembali dompet dari saku bajuku. Kuserahkan semua uang yang tersisa dari dompetku, selembar uang Rp 10.000 padanya. Mulutnya terbuka lebar, matanya menyipit. Ia tertawa tulus. “Hehe, telima kacih kak!” ucapnya.

Aku tersenyum kepadanya. Senang hatiku melihat orang lain senang. Dan tanpa kusadari, kereta yang kutunggu dengan cepat melewatiku, jauh, dan semakin jauh.

“Oh, sial!” ucapku kesal.

Anak kecil tadi melepaskan cengkramannya dari lenganku. Aku menoleh padanya. Mukanya yang lusuh tak terurus meluluhkan hatiku. Seketika itu juga, keinginanku untuk meninggalkan dunia ini hilang.

“Di mana rumahmu, dik?” tanyaku.

“Di cinih, kak, di cinih!” jawabnya polos.

“Di sini? Di mana?” heranku sambil melihat sekeliling. Sejauh mata memandang, tak ada rumah yang terlihat.

“Di cini nih, di cinih!” teriaknya polos, sambil menunjuk-nunjuk sebuah selokan beratapkan kardus.

Aku berjalan menuju selokan itu. Semakin mendekat, semakin terlihat jelas sebuah sosok yang sedang berbaring di situ. Setengah tak percaya, kulihat sosok itu dengan jelas. Kurus kering, hampir tak berdaging. Orang yang hanya melihatnya sekilas mungkin akan mengira bahwa ia hanyalah bangkai yang sudah mati.

Ketika aku dan anak itu menghampiri kardus itu, tiba-tiba sosok itu bergerak. Matanya yang teduh terbuka, menatap kami berdua secara bergantian. “Siapa yang kau bawa ini, nak?” tanyanya lembut.

“Ini malaikat yang baik, yah..” ujarnya.
Sosok tersebut tersenyum kepadaku. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. “Kemarilah anak muda..” ucapnya sulit, terlihat menahan rasa sakit.

Aku menghampirinya, dan berjongkok di hadapannya. “Kupikir, kau sedang dirundung masalah besar.”

Goal! Tepat mengenai sasaran, bagaikan bola yang melesak ke gawang. “Bagaimana mungkin bapak bisa tahu?” ucapku masih setengah tak percaya.

Sambil tersenyum, ia membuka mulutnya, “Allah yang memberitahuku, nak.”

Allah? Kupikir, aku telah menghapus kata-kata itu dari kehidupanku beberapa jam yang lalu.

“Allah?” tanyaku padanya. “Kenapa bapak masih mempercayai Allah?”

Ia kembali tersenyum. Pandangannya menatap langit, penuh harap dan kebanggaan. “Karena Allah telah memberikan berbagai kenikmatan yang tak ternilai harganya, sampai kapan pun.” Ujarnya. “Itulah, kenapa sampai saat ini Allah layak disebut sebagai Tuhan. Ia yang menciptakan kita, memberikan kenikmatan pada kita, dan tak pernah mendzalimi hamba-Nya..”

Aku menatap tubuhnya dalam-dalam. Kurus kering, seperti tanpa daging. Rambutnya kumal. Pakaiannya lusuh. Dengan penampilannya yang seperti itu, wajar banyak orang yang tak menganggapnya ada di dunia ini. Bagaikan sesosok bangkai dalam selokan. “Bukankah Allah telah memberikan bapak kondisi seperti ini? Tidakkah Allah telah berbuat tidak adil kepada bapak? Dan dengan ini, bapak masih tetap bersyukur kepada Allah?” Tanyaku penuh keheranan. Tak masuk akal!

Bapak itu tersenyum, menatap mataku dalam-dalam. “Nak, bukankah dunia ini adalah ladang cobaan bagi orang Muslim? Bukankah cobaan-cobaan yang Allah berikan itu akan mengurangi dosa dan meningkatkan keimanan kita? Bukankah cobaan-cobaan yang Allah berikan merupakan peringatan bagi kita? Bukankah dunia ini hanya sementara? Bukankah Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar? Bukankah Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan akan memberikan Surga-Nya bagi siapa saja hamba-Nya yang selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak mengeluh terhadap segala ketentuan-Nya?” ucapnya menerawang.

Mulutku membisu sejenak. Pandanganku ragu, hatiku bergetar. Sungguh berat ucapan bapak ini. Tapi, aku masih penasaran dengan segala pengalaman hidup beliau. “Pak, kalau boleh tahu, sebenarnya peristiwa apa yang menyebabkan kondisi bapak hingga seperti ini?”

Bapak itu kembali tersenyum. “Yah, itu masa lalu. Dahulu bapak adalah ahli maksiat, nak. Hingga sampai pada suatu hari, kemaksiatan bapak telah mencapai puncaknya. Hampir saja Allah mencabut nyawa bapak. Andaikata Allah tak mengasihani bapak ketika itu, bapak mungkin sudah tiada di dunia ini. Dan Bapak masih bersyukur terhadap ketentuan Allah, karena penyakit HIV ini masih lebih baik daripada kematian. Semoga dengan penyakit ini, dosa-dosa bapak dapat terampuni…”

Suaranya semakin berat. Ketika kutatap wajahnya, bulir-bulir air mata mulai menetes dari pipinya, tanda penyesalan.

“Tapi pak, apa bapak tidak pernah protes terhadap ketentuan Allah ini? Bukankah masih ada kehidupan yang lebih baik?”

 “Dik, dengan ketetapan Allah ini, bapak berharap, inilah yang terbaik untuk dunia dan akhirat bapak, dan bapak yakin Allah juga telah menakdirkan hal yang seperti itu. Jadi, kenapa bapak harus mengeluh dan tidak mensyukuri nikmat-Nya? Bukankah masih terlalu banyak nikmat yang Allah berikan yang wajib kita syukuri?”
               
DEG! Ucapan bapak ini benar-benar tepat, benar-benar mengena!

“Nak, ketika kau mendapat kenikmatan, pernahkah kau bertanya, kenapa harus saya yang mendapatkan kenikmatan ini? kenapa bukan orang lain? Dan ketika mendapat sebuah musibah kecil, kenapa harus saya yang mendapatkan musibah ini? kenapa bukan orang lain? Pernahkah?”

Seolah bisa membaca fikiranku, bapak itu langsung melanjutkan, “Bapak fikir, hampir semua orang akan melakukan hal yang sama. Bapak juga dulu seperti itu. Namun, bapak akhirnya sadar, bahwa kehidupan ini adalah nikmat dan cobaan. Ketika kita sedang terlena dengan kenikmatan Allah, Allah akan mengingatkan kita melalui cobaan agar kita kembali pada-Nya. Dan itu tanda cinta Allah pada kita.”

Sebutir keringat luluh dari dahiku. Menetes jatuh ke tanah. “Tapi pak, penyakit HIV ini kan tak ada obatnya. Bapak tak punya harapan hidup lagi. Kenapa bapak masih terus bersabar atas penyakit ini? kenapa bapak tidak bunuh diri saja?”

Beliau kembali tersenyum. Tatapannya menerawang ke langit, penuh harapan. “Seperti yang bapak katakan, segala bentuk cobaan adalah peringatan bagi kita. Siapa tahu, kita punya dosa besar, dan dengan cobaan ini, Allah ingin kita sadar dan bertaubat pada-Nya. Bukankah dengan cobaan, kebaikan Allah semakin terasa? Bukankah dengan cobaan ini, Allah akan menghapus dosa-dosa kita?”

Kerongkonganku terasa mulai mengering. Kumenerawang kembali ke masa beberapa jam yang lalu, ketika kubaca lembaran SKHUN itu. Ah, apapun itu, kupikir semuanya sudah percuma. Ada harapan apalagi bagiku untuk hidup?

Bagaikan mengangkat sebuah gunung, kucoba membuka mulutku, “Percuma pak, semuanya sudah terlambat. Kejadian itu telah menghancurkan masa depanku…”

Bapak itu menarik nafas panjang,  bentuk penyanggahan langsung terhadap pernyataan bodohku itu. “Semua yang terjadi di dunia ini tak ada yang percuma. Seminimalnya, engkau akan mendapatkan pengalaman untuk hidupmu ke depan. Kata siapa satu musibah akan menghancurkan masa depanmu yang luasnya seluas langit dan bumi? Justru jika kau berdiam diri saja tanpa belajar dari pengalaman, atau membuat onar di sana sini sebagai bentuk pelampiasanmu, maka itulah yang akan merusak masa depanmu. Dengan segala kejadian yang ada, kau harus belajar! Bukankah Allah tidak menilai hasil, melainkan proses?” 

JLEB! Mulutku diam seribu bahasa. Skakmat!!

“Apalagi, kita sebagai manusia tidak punya hak untuk mendahului takdir Allah, mendahului kematian kita dengan bunuh diri. Perjalananmu masih panjang nak, apalagi kau punya masa depan sebagai seorang pemuda. Sedangkan bapak? Bapak sudah tidak punya harapan hidup. Jadi, alangkah baiknya kalau bapak menikmati masa-masa akhir hidup bapak dengan banyak-banyak bersyukur pada-Nya”

Tanpa sadar, linangan air mata telah membasahi wajahku. Butir-butir penyesalan bermunculan di fikiranku. Ya Allah, kenapa selama ini fikiranku teramat dangkal? Kenapa hamba tak sadar betapa cintanya Engkau padaku? Ya Allah, maafkanlah hambamu yang hina ini…

Kuangkat kepalaku dan kutarik nafas panjang, tersenyum. Kutatap bapak itu penuh harap. Kusentuh pundaknya dan kuusap air mata yang berada di wajahnya. Entah kenapa, mulutku menjadi ringan untuk digerakkan, “Terima kasih pak, bapak telah menyadarkan saya. Saya berjanji, saya akan berubah dan akan menyadarkan orang-orang yang bernasib sama seperti saya.”

Kucium kening bapak itu. Kurasakan dekapan erat dari tangannya, lembut, menyejukkan. Aku bangkit berdiri, kuusap kepala anak bapak ini. Ia tersenyum kegirangan. “Dik, pak, sekali lagi, terima kasih banyak.” Ucapku seraya berdiri. “Assalaamu’alaikum.”

Sempat kulirik sejenak wajah bapak tadi. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. Sebuah senyum kebanggaan.

Dan dalam hati, aku berjanji, akan bersabar dan mensyukuri segala pemberian Allah, apa pun itu. Semoga saja, itu merupakan hal yang terbaik bagiku.

Dengan jiwa yang tenang, kulangkahkan kakiku menuju rumah.

---OoO---


16.00 Stasiun Serpong, keesokan harinya.

Aku duduk di sebuah bangku stasiun. Sebuah majalah kubaca untuk mengisi waktu sebelum kereta datang. Kemiskinan, kelaparan, demonstrasi. Huh,itulah carut marut Indonesia yang tak kunjung usai. Sejenak, aku berfikir, andaikata masyarakat Indonesia tidak banyak bermaksiat dan senantiasa bersyukur pada-Nya, pasti Indonesia akan makmur dan sejahtera. Karena, itulah janji Allah…

TENG TENG TENG TENG

Alarm stasiun berbunyi empat kali, disusul sebuah suara tanda kereta akan segera datang. Si ular besi telah Nampak dari kejauhan. Aku bangkit dan bersiap. Seorang siswa SMA dengan seragam putih abunya yang semenjak tadi duduk di sampingku juga ikut berdiri. Nafasnya memburu, matanya sayu. Tanpa diduga, ia melompat menuju rel dan mematung di tempat kereta akan datang beberapa detik lagi!

Mata-mata yang melihat peristiwa itu terbelalak. Membisu. Seolah telah menyiapkan diri sebagai saksi dari sebuah peristiwa bunuh diri. 

“Bodoh!” Teriakku. “Jangan berdiri di situ!”

Aku melompat, berusaha untuk mendorong dan menyelamatkannya.

BRAKKKH!!!

---OoO---

“Kenapa!? Kenapa kau harus menolongku! Kenapa??? Aku ingin mati! Aku ingin matiii!!!”

Suara teriakan itu tak terdengar lagi. Gelap, hampa. [Al_Fatih1453]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar